Jumat, 09 September 2016

PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN TERHADAP KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT AKTIVITAS PERUSAHAAN

BAB I
PENDAHULUAN
  1.1            Latar Belakang
PT. Unilever Indonesia Tbk merupakan salah satu perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terkemuka di Indonesia. Rangkaian produk Perseroan mencakup produk kebutuhan rumah tangga dan individu (Home and Personal Care serta Foods and Refreshment) ditandai dengan merek-merek terpercaya dan ternama di dunia, antara lain Wall’s, Lifebuoy, Vaseline, Pepsodent, Lux, Pond’s, Sunlight, Rinso, Blue Band, Royco, Dove, Rexona, Clear, dan lain-lain. Bidang usaha Unilever adalah produksi, pemasaran dan distribusi barang-barang konsumsi yang meliputi sabun, deterjen, margarin, makanan berinti susu, es krim, produk-produk kosmetik, minuman dengan bahan pokok teh dan minuman sari buah. PT. Unilever Indonesia Tbk didirikan pada 5 Desember 1933, pada tanggal 9 Juni 2011 kepemilikan Unilever adalah penanaman modal asing. Kantor pusat Unilever bertempat di jalan Jend Gatot Subroto Kav. 15 Jakarta 12930, Indonesia.
Eksploitasi lingkungan secara besar-besaran membuat sumber daya alam di bumi berkurang secara drastis, hal ini di buktikan dengan data yang menunjukkan bahwa pengurangan jumlah hutan di Indonesia kurun waktu tahun 20012 hingga 2013 mengalami pengurangan sebesar 15,8 juta hektar dan hanya mengalami penambahan sebesar 6,97 hektar (kompasiana.com, 2015). Pengurangan hutan tersebut mengakibatkan dampak lingkungan, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia.Kerusakan lingkungan juga terjadi akibat pola konsumtif dan perilaku manja dari masyarakat bumi sendiri, di Indonesia limbah plastik menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan.
Limbah plastik menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan. Plastik telah dikenal luas dalam kehidupan manusia. Berbagai barang kebutuhan hidup mulai barang-barang sederhana hingga barang-barang berteknologi terus meningkat menumbuhkan kekhawatiran mengenai dampak buruknya terhadap lingkungan. Awalnya sifat-sifat plastik yang ringan, praktis, ekonomis, dan tahan terhadap pengaruh lingkungan menjadi unggulan, sehingga plastik dapat digunakan untuk menggantikan bahan-bahan lain yang tidak tahan lama. Akan tetapi plastik juga banyak digunakan untuk barang sekali pakai sehingga sampah plastik semakin bertambah, sementara proses degradasi secara alamiah berlangsung sangat lama.  Sebagai akibatnya sampah plastik menjadi masalah bagi lingkungan.
Data dari website Kementrian Lingkungan Hidup (www.menlh.go.id) menunjukkan pada tahun 2007 volume timbunan sampah di 194 kabupaten dan kota di Indonesia mencapai 666 juta liter atau setara 42 juta kilogram, di mana komposisi limbah plastik mencapai 14 persen atau 6 juta ton. Dari sumber yang sama di tahun 2012, jumlah sampah di 14 kota besar di Indonesia mencapai 1,9 juta ton. Adapun, jumlah limbah plastik secara umum pada tahun 2013 sebanyak 53% dari jumlah sampah yang ada. Meningkatnya jumlah limbah plastik ini menjadi sebuah hal yang dapat mengancam kestabilan ekosistem lingkungan, mengingat plastik yang digunakan saat ini adalah plastik yang tidak dapat terurai secara biologis (nonbiodegradable). Plastik merupakan jenis sampah atau limbah yang proses penguraiannya membutuhkan waktu yang lama dan tidak ramah lingkungan. Secara umum, kebanyakan limbah plastik merupakan kemasan plastic yang tidak dapat terurai secara biologis (nonbiodegradable) yang berasal dari sintesis minyak bumi. Plastik untuk kemasan merupakan plastik yang paling dominan digunakan dibandingkan penggunaan untuk sektor lainnya, sehingga sampah kemasan plastik menyumbang paling banyak limbah plastik.
Pertumbuhan pesat wilayah perkotaan akan sangat mempengaruhi penggunaan sumber daya, yang akan memberikan perubahan sosial dan dampak lingkungan masyarakat. Penggunaan sumber daya air, kertas dan plastik sangat dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakatnya, Indonesia merupakan penyumbang limbah plastik terbesar. Limbah ini meliputi limbah botol, kantong plastic serta zat-zat sisa makhluk hidup lainnya. Penggunaan rata-rata kantong plastik orang Indonesia sekitar 700lembar/tahun, dimana dalam sehari mencapai 4000 ton dengan perkiraan konsumsi 100 milyar kontong pertahun (kompasiana.com 2015). Ditambah dengan pertumbuhan pesat industri berdampak pada lingkungan sekitar, dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas perusahaan menimbulkan dampak bagi lingkungan, hal ini mendorong pemerintah membentuk undang-undang yang mengatur tentang dampak lingkungan yang diakibatkan akibat aktivitas perusahaan.
Dengan adanya undang-undang tentang analisa dampak lingkungan yang diperuntukan untuk perusahaan yang akan membangun pabrik baru ataupun perbaikan pabrik lama maka akan mengurangi dampak negatif yang di timbulkan akibat aktivitas perusahaan. Untuk itu dalam makalah ini penulis akan membahas bagaimana pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang di akibatkan karena aktivitas perusahaan.
1.2              Rumusan Masalah Penulisan
1.                  Bagaimana pertanggungjawaban perusahaan unilever dalam menanggulangi dan mencegah dampak lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaannya?
2.                  Bagaimana hukum mengatur undang-undang tentang pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan lingkungan?

2.3              Tujuan Penulisan
1.                  Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban perusahaan unilever dalam menanggulangi dan mencegah dampak lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaannya.
2.                  Untuk mengetahui bagaimana hukum mengatur undang-undang tentang pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan lingkungan?





2.4              Manfaat Penulisan
2.4.1        Aspek Teoritis
Makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana informasi untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang pertanggungjawaban badan hukum tentang kerusakan lingkungan yang di akibatkan oleh aktivitas perusahaan di Indonesia.
2.4.2        Aspek Praktisi
1)                  Bagi mahasiswa program studi S1 Marketing Bina Nusantara, mengetahui tentang pertanggungjawaban badan hukum tentang kerusakan lingkungan yang di akibatkan oleh aktivitas perusahaan di Indonesia.
2)                  Bagi Institusi, dapat menambah bahasan diskusi untuk program pembelajaran, khususnya program S1 Marketing.

2.5              Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, maka disusunlah suatu sistematika penulisan yang berisi informasi mengenai materi dan hal yang di bahas dalam tiap-tiap bab, ada pun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a)      Bab I Pendahuluan. Pada bab ini di uraikan tentang objek penelitian, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta sistematika penulisan.
b)      Bab II Hasil dan Pembahasan. Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan atas hasil data.
c)      Bab III Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan pada bab II.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1              Pertanggungjawaban Unilever
Pertumbuhan berkelanjutan merupakan jantung dari model bisnis Unilever. Banyak tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini, seperti masalah kemiskinan, kesehatan, kelestarian sumber daya dan perubahan iklim, adalah tantangan yang apabila tidak diatasi, dapat membawa dampak bagi kelangsungan bisnis Unilever. Unilever menyikapinya dengan Unilever Sustainable Living Plan, sebuah komitmen jangka panjang untuk meningkatkan kesehatan, memperbaiki penghidupan sekaligus mengurangi dampak lingkungan. Pada 2013 Unilever telah membuat kemajuan dalam pencapaian ketiga sasarannya. Selain menyampaikan pesan mengenai cara hidup yang berkelanjutan (Sustainable) melalui pengenalan merek Unilever, Unilever melibatkan diri secara langsung dengan para pemangku kepentingan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan berkelanjutan (sustainability). Unilever terus bekerja sama dengan sejumlah pemasok utama Unilever petani kedelai hitam, petani gula kakao dan petani teh untuk meningkatkan hasil panen melalui praktik-praktik perkebunan yang lestari, seraya pada saat yang sama meningkatkan penghidupan melalui proyek-proyek penciptaan sumber pendapatan dan pemberdayaan di kalangan komunitas perkebunan. Sebagian besar perkebunan teh pemasok Unilever saat ini telah disertifikasi oleh Rain Forest Alliance, dan Unilever tengah menyiapkan penyelesaian proses sertifikasi untuk lahan-lahan perkebunan lainnya. Lifebuoy telah menjalin kemitraan dengan sebuah desa di Nusa Tenggara Timur untuk meningkatkan fasilitas sanitasi yang dapat membawa manfaat besar bagi kesehatan masyarakatnya. Domestos pun telah berkolaborasi dengan sekolah-sekolah untuk meningkatkan kebersihan lebih dari 1.000 toilet sekolah.
Unilever percaya bahwa sebelum Unilever dapat membuat perubahan pada tingkat global, pola pikir pribadi harus berubah terlebih dulu. Itu sebabnya inisiatif baru Unilever, Project Sunlight, yang diluncurkan ingin menginspirasi masyarakat untuk membuat langkah-langkah kecil secara pribadi, karena itulah yang akan membuat perbedaan. Komitmen Unilever Indonesia terhadap kegiatan berkelanjutan (sustainability) dan tanggung jawab sosial diakui secara internasional pada 2013 dalam bentuk penganugerahan berbagai penghargaan, antara lain Stevie Awards untuk program bank sampah (Emas), edukasi kesehatan dan hygiene di usia dini (Perak) serta pertanian lestari (Perunggu), Green Leadership award dari Asia Responsible Entrepreneurship Awards, dan Best Corporate Social Responsibility Company in Asia Award dari AIM dan Intel, serta sejumlah penghargaan dan anugerah tingkat nasional.
Unilever mendorong tercapainya agenda Unilever untuk kegiatan berkelanjutan (sustainability) secara menyeluruh, mulai dari pemilihan sumber bahan mentah sampai ke proses produksi hingga pengantaran produk ke toko. Sebagai sebuah organisasi, Unilever menempatkan prinsip kegiatan berkelanjutan (sustainability) sebagai dasar dari nilai yang Unilever ikuti dan praktik bisnis yang Unilever lakukan. Unilever senantiasa memastikan bahwa Unilever melakukan segala yang Unilever mampu untuk menekan dampak yang Unilever timbulkan terhadap lingkungan, antara lain melalui implementasi sistem manajemen lingkungan ISO 14001 secara konsisten sejak 1999. Pada 2013, pendekatan yang sistematis dan komprehensif terhadap sustainability ini memperoleh pengakuan dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang sekali lagi menganugerahkan penghargaan tertinggi peringkat PROPER Emas kepada pabrik Rungkut untuk pengelolaan lingkungan yang baik. Dengan demikian, Unilever Indonesia menjadi perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) pertama yang meraihnya selama dua tahun berturut-turut. Pabrik Cikarang Unilever memperoleh peringkat Hijau (kedua tertinggi), serta penghargaan Industri Hijau dari Kementerian Perindustrian, dengan skor 4 dari nilai tertinggi 5.
Serangkaian prestasi ini menunjukkan bahwa Unilever Indonesia bukan saja telah melampaui ketentuan persyaratan manajemen lingkungan, namun juga berkomitmen untuk menjalankan upaya penyempurnaan terus menerus untuk memastikan bahwa seluruh proses produksi Unilever berlangsung secara efisien dan ramah lingkungan. Target Unilever secara global berkaitan dengan penggunaan energi yang efisien, sebagaimana dirumuskan dalam program kegiatan berkelanjutan dari Unilever (Unilever Sustainable Living Plan) adalah mengurangi separuh dari dampak gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh produk-produk Unilever di seluruh siklus kehidupannya pada 2020. Target ini, sejalan dengan kebijakan pabrik Unilever, untuk menghemat pemakaian bahan-bahan mentah, energi dan air, telah diwujudkan dalam serangkaian indikator kinerja utama (KPI: Key Performance Indicators) bagi masing-masing pabrik, dan kemajuannya dilaporkan secara teratur melalui sistem online Unilever.
Penyempurnaan secara terus menerus pada parameter KPI ini di seluruh lini operasi Unilever telah membuahkan pengurangan pemakaian energi secara konsisten. Unilever telah memetakan keseluruhan emisi Unilever dan melakukan pemantauan secara teratur serta menggunakan hasilnya sebagai bahan untuk penyusunan strategi pengurangan selanjutnya. Sebagai wujud dari komitmen Unilever untuk menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, Unilever telah beralih menggunakan gas alam sebagai bahan bakar utama bagi boiler-boiler Unilever. Jumlah emisi total telah berkurang 2,75% pada 2013 dibanding 2012.
Air merupakan bahan mentah utama sekaligus bahan tambahan dalam proses produksi Unilever dan harus dikelola serta dipantau sebagai bagian integral dari pengelolaan pabrik. Sepanjang tahun, Unilever meningkatkan sejumlah upaya berkaitan dengan penggunaan air, seperti daur-ulang air melalui pusat pengolahan air limbah (Waste Water Treatment Plant/WWTP), tadah air hujan, dan sebagainya. Berikut ini adalah produk dari Unilever.
Gambar 1.1 Produk Unilever

Description: http://www.unilever.com/images/lipton-logo-275x210_tcm13-290539.png
Description: Image result for magnum

Untuk menjalankan usahanya Unilever mempunyai visi dan misi yang digunakan untuk kemajuan usahanya, berikut visi dan misi dari Unilever
Visi : Untuk meraih rasa cinta dan penghargaan dari Indonesia dengan menyentuh kehidupan setiap orang Indonesia setiap harinya.
Misi dari Unilever adalah :
1)                  Unilever bekerja untuk menciptakan masa depan yang lebih baik setiap hari.
2)                  Unilever membantu konsumen merasa nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati hidup melalui brand dan layanan yang baik bagi mereka dan orang lain.
3)                  Unilever menginspirasi masyarakat untuk melakukan langkah kecil setiap harinya yang bila digabungkan bisa mewujudkan perubahan besar bagi dunia.
4)                  Unilever senantiasa mengembangkan cara baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami tumbuh dua kali lipat sambil mengurangi dampak terhadap lingkungan.

2.2              Undang-Undang Tentang Tanggungjawab Perusahaan Terhadap Kerusakan Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pendayagunaan sumber daya alam sebagai suatu asset mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Disebutkan dalam ketentuan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UU ini dibedakan antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan “pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya. Mengenai “asas berkelanjutan” penjelasan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup. Secara umum dalam Pasal 1 angka (10) disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini menentukan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Penentuan kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari penempatan kejahatan lingkungan hidup di dalam undang-undang, yang lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi. Sudarto menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 
a.                   Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.
b.                  Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.
c.                   Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting).
Tindak pidana lingkungan hidup dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Undang-undang tersebut merupakan payung hukum (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup. Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terkait kejahatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dilihat dari perumusan Pasal 69 yang menyatakan bahwa:

1)                  Setiap orang dilarang:
·         melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
·         memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·         memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·         memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·         membuang limbah ke media lingkungan hidup.
·         membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
·         melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.
·         melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
·         menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau
·         memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.
2)                  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 di atas maka menyangkut kriminalisasi kejahatan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 115. Adapun ketentuan dimaksud sebagai berikut :
Pasal 98 :
(1)          “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.
(2)          “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
(3)          “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.
Pasal 99 :
(1)          “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)          ”Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)”.
(3)          “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah)”.
Pasal 100 :
(1)          “Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)          Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administrative yang telah di jatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali”.

Pasal 101 :
(1)          “Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 102:
(1)          “Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 103 :
(1)          “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 104:
(1)          ”Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 105:
(1)          ” Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.



Pasal 106:
(1)          ” Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 107:
(1)          “Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.

Pasal 108:
(1)          “Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Pasal 109:
(1)          ” Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 110:
(1)          ” Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 111:
(1)          “Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)          “ Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada pasal 40 ayat (1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Pasal 112:
(1)          “ Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Pasal 113:
(1)          “Setiap orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 114:
(1)          “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 115:
(1)          ”Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam undang-undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan Beberapa point penting dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain :
a.            Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b.            Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c.            Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d.            Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
e.            Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
f.             Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
g.            Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h.            Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
i.              Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
j.              Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa yang dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang meliputi:
a.            Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH.
b.            Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
c.            Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
d.            Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS, tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
e.            Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
f.             Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
                 
1)            Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
2)            Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
3)            Ada pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata AMDAL Dalam UU NO. 32 TAHUN 2009. Dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya kalimat dampak besar. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup , sedangkan pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan.
4)            Hal baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan; Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan memperhatikan azas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar