BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
PT.
Unilever Indonesia Tbk merupakan salah satu perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) terkemuka di Indonesia. Rangkaian
produk Perseroan mencakup produk kebutuhan rumah tangga dan individu (Home and Personal Care serta Foods and Refreshment) ditandai dengan
merek-merek terpercaya dan ternama di dunia, antara lain Wall’s, Lifebuoy,
Vaseline, Pepsodent, Lux, Pond’s, Sunlight, Rinso, Blue Band, Royco, Dove,
Rexona, Clear, dan lain-lain. Bidang usaha Unilever adalah produksi, pemasaran
dan distribusi barang-barang konsumsi yang meliputi sabun, deterjen, margarin,
makanan berinti susu, es krim, produk-produk kosmetik, minuman dengan bahan
pokok teh dan minuman sari buah.
PT. Unilever Indonesia Tbk didirikan
pada 5 Desember 1933, pada tanggal 9 Juni 2011 kepemilikan Unilever adalah
penanaman modal asing. Kantor pusat Unilever bertempat di jalan Jend Gatot
Subroto Kav. 15 Jakarta 12930, Indonesia.
Eksploitasi lingkungan
secara besar-besaran membuat sumber daya alam di bumi berkurang secara drastis,
hal ini di buktikan dengan data yang menunjukkan bahwa pengurangan jumlah hutan
di Indonesia kurun waktu tahun 20012 hingga 2013 mengalami pengurangan sebesar
15,8 juta hektar dan hanya mengalami penambahan sebesar 6,97 hektar
(kompasiana.com, 2015). Pengurangan hutan tersebut mengakibatkan dampak
lingkungan, bencana alam seperti banjir dan tanah longsor terjadi hampir di
seluruh wilayah di Indonesia.Kerusakan
lingkungan juga terjadi akibat pola konsumtif dan perilaku manja dari
masyarakat bumi sendiri, di Indonesia limbah plastik menjadi masalah utama
dalam pencemaran lingkungan.
Limbah plastik menjadi masalah utama dalam pencemaran
lingkungan. Plastik telah dikenal luas dalam kehidupan manusia. Berbagai barang
kebutuhan hidup mulai barang-barang sederhana hingga barang-barang berteknologi
terus meningkat menumbuhkan kekhawatiran mengenai dampak buruknya terhadap
lingkungan. Awalnya sifat-sifat plastik yang ringan, praktis, ekonomis, dan
tahan terhadap pengaruh lingkungan menjadi unggulan, sehingga plastik dapat
digunakan untuk menggantikan bahan-bahan lain yang tidak tahan lama. Akan
tetapi plastik juga banyak digunakan untuk barang sekali pakai sehingga sampah
plastik semakin bertambah, sementara proses degradasi secara alamiah
berlangsung sangat lama. Sebagai
akibatnya sampah plastik menjadi masalah bagi lingkungan.
Data dari website
Kementrian Lingkungan Hidup (www.menlh.go.id) menunjukkan pada tahun
2007 volume timbunan sampah di 194 kabupaten dan kota di Indonesia mencapai 666
juta liter atau setara 42 juta kilogram, di mana komposisi limbah plastik
mencapai 14 persen atau 6 juta ton. Dari sumber yang sama di tahun 2012, jumlah
sampah di 14 kota besar di Indonesia mencapai 1,9 juta ton. Adapun, jumlah
limbah plastik secara umum pada tahun 2013 sebanyak 53% dari jumlah sampah yang
ada. Meningkatnya jumlah limbah plastik ini menjadi sebuah hal yang dapat
mengancam kestabilan ekosistem lingkungan, mengingat plastik yang digunakan
saat ini adalah plastik yang tidak dapat terurai secara biologis (nonbiodegradable).
Plastik merupakan jenis sampah atau limbah yang proses penguraiannya
membutuhkan waktu yang lama dan tidak ramah lingkungan. Secara umum, kebanyakan limbah
plastik merupakan kemasan plastic yang tidak dapat
terurai secara biologis
(nonbiodegradable) yang berasal dari
sintesis minyak bumi. Plastik untuk kemasan merupakan plastik yang paling
dominan digunakan dibandingkan penggunaan untuk sektor lainnya, sehingga sampah
kemasan plastik menyumbang paling banyak limbah plastik.
Pertumbuhan pesat
wilayah perkotaan akan sangat mempengaruhi penggunaan sumber daya, yang akan
memberikan perubahan sosial dan dampak lingkungan masyarakat. Penggunaan sumber
daya air, kertas dan plastik sangat dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakatnya, Indonesia
merupakan penyumbang limbah plastik terbesar. Limbah ini meliputi limbah botol,
kantong plastic serta zat-zat sisa makhluk hidup lainnya. Penggunaan rata-rata
kantong plastik orang Indonesia sekitar 700lembar/tahun, dimana dalam sehari
mencapai 4000 ton dengan perkiraan konsumsi 100 milyar kontong pertahun
(kompasiana.com 2015). Ditambah dengan pertumbuhan pesat industri berdampak
pada lingkungan sekitar, dampak yang ditimbulkan akibat aktivitas perusahaan
menimbulkan dampak bagi lingkungan, hal ini mendorong pemerintah membentuk
undang-undang yang mengatur tentang dampak lingkungan yang diakibatkan akibat
aktivitas perusahaan.
Dengan
adanya undang-undang tentang analisa dampak lingkungan yang diperuntukan untuk perusahaan
yang akan membangun pabrik baru ataupun perbaikan pabrik lama maka akan
mengurangi dampak negatif yang di timbulkan akibat aktivitas perusahaan. Untuk
itu dalam makalah ini penulis akan membahas bagaimana pertanggungjawaban
perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang di akibatkan karena aktivitas
perusahaan.
1.2
Rumusan
Masalah Penulisan
1.
Bagaimana pertanggungjawaban perusahaan
unilever dalam menanggulangi dan mencegah dampak lingkungan yang diakibatkan
karena aktivitas perusahaannya?
2.
Bagaimana hukum mengatur undang-undang
tentang pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan lingkungan?
2.3
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui bagaimana
pertanggungjawaban perusahaan unilever dalam menanggulangi dan mencegah dampak
lingkungan yang diakibatkan karena aktivitas perusahaannya.
2.
Untuk mengetahui bagaimana hukum
mengatur undang-undang tentang pertanggungjawaban perusahaan terhadap kerusakan
lingkungan?
2.4
Manfaat
Penulisan
2.4.1
Aspek
Teoritis
Makalah ini dapat
dijadikan sebagai sarana informasi untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan
tentang pertanggungjawaban badan hukum tentang kerusakan lingkungan yang di
akibatkan oleh aktivitas perusahaan di Indonesia.
2.4.2
Aspek
Praktisi
1)
Bagi mahasiswa program studi S1 Marketing Bina Nusantara, mengetahui
tentang pertanggungjawaban badan hukum tentang kerusakan lingkungan yang di
akibatkan oleh aktivitas perusahaan di Indonesia.
2)
Bagi Institusi, dapat menambah bahasan
diskusi untuk program pembelajaran, khususnya program S1 Marketing.
2.5
Sistematika
Penulisan
Untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, maka
disusunlah suatu sistematika penulisan yang berisi informasi mengenai materi
dan hal yang di bahas dalam tiap-tiap bab, ada pun sistematika penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Bab I Pendahuluan.
Pada bab ini di uraikan tentang objek penelitian, latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta sistematika penulisan.
b) Bab II Hasil dan Pembahasan.
Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan atas hasil data.
c) Bab III Penutup.
Bab ini berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan pada bab II.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pertanggungjawaban
Unilever
Pertumbuhan berkelanjutan merupakan jantung dari
model bisnis Unilever. Banyak tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini,
seperti masalah kemiskinan, kesehatan, kelestarian sumber daya dan perubahan
iklim, adalah tantangan yang apabila tidak diatasi, dapat membawa dampak bagi
kelangsungan bisnis Unilever. Unilever menyikapinya dengan Unilever Sustainable Living Plan, sebuah komitmen
jangka panjang untuk meningkatkan kesehatan, memperbaiki penghidupan sekaligus
mengurangi dampak lingkungan. Pada 2013 Unilever telah membuat kemajuan dalam
pencapaian ketiga sasarannya. Selain menyampaikan pesan mengenai cara hidup
yang berkelanjutan (Sustainable)
melalui pengenalan merek Unilever, Unilever melibatkan diri secara langsung
dengan para pemangku kepentingan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan
berkelanjutan (sustainability).
Unilever terus bekerja sama dengan sejumlah pemasok utama Unilever petani
kedelai hitam, petani gula kakao dan petani teh untuk meningkatkan hasil panen
melalui praktik-praktik perkebunan yang lestari, seraya pada saat yang sama
meningkatkan penghidupan melalui proyek-proyek penciptaan sumber pendapatan dan
pemberdayaan di kalangan komunitas perkebunan. Sebagian besar perkebunan teh
pemasok Unilever saat ini telah disertifikasi oleh Rain Forest Alliance, dan Unilever tengah menyiapkan penyelesaian
proses sertifikasi untuk lahan-lahan perkebunan lainnya. Lifebuoy telah
menjalin kemitraan dengan sebuah desa di Nusa Tenggara Timur untuk meningkatkan
fasilitas sanitasi yang dapat membawa manfaat besar bagi kesehatan
masyarakatnya. Domestos pun telah berkolaborasi dengan sekolah-sekolah untuk
meningkatkan kebersihan lebih dari 1.000 toilet sekolah.
Unilever percaya bahwa sebelum Unilever dapat
membuat perubahan pada tingkat global, pola pikir pribadi harus berubah
terlebih dulu. Itu sebabnya inisiatif baru Unilever, Project Sunlight, yang
diluncurkan ingin menginspirasi masyarakat untuk membuat langkah-langkah kecil
secara pribadi, karena itulah yang akan membuat perbedaan. Komitmen Unilever
Indonesia terhadap kegiatan berkelanjutan (sustainability)
dan tanggung jawab sosial diakui secara internasional pada 2013 dalam bentuk
penganugerahan berbagai penghargaan, antara lain Stevie Awards untuk program bank sampah (Emas), edukasi kesehatan
dan hygiene di usia dini (Perak)
serta pertanian lestari (Perunggu), Green
Leadership award dari Asia
Responsible Entrepreneurship Awards, dan Best Corporate Social Responsibility Company in Asia Award dari AIM
dan Intel, serta sejumlah penghargaan dan anugerah tingkat nasional.
Unilever mendorong tercapainya agenda Unilever untuk kegiatan berkelanjutan (sustainability) secara menyeluruh, mulai dari pemilihan sumber
bahan mentah sampai ke proses produksi hingga pengantaran produk ke toko.
Sebagai sebuah organisasi, Unilever menempatkan prinsip kegiatan berkelanjutan (sustainability) sebagai dasar dari
nilai yang Unilever ikuti dan praktik bisnis yang Unilever lakukan. Unilever
senantiasa memastikan bahwa Unilever melakukan segala yang Unilever mampu untuk
menekan dampak yang Unilever timbulkan terhadap lingkungan, antara lain melalui
implementasi sistem manajemen lingkungan ISO 14001 secara konsisten sejak 1999.
Pada 2013, pendekatan yang sistematis dan komprehensif terhadap sustainability ini memperoleh pengakuan
dari Kementerian Lingkungan Hidup, yang sekali lagi menganugerahkan penghargaan
tertinggi peringkat PROPER Emas kepada pabrik Rungkut untuk pengelolaan lingkungan
yang baik. Dengan demikian, Unilever Indonesia menjadi perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG)
pertama yang meraihnya selama dua tahun berturut-turut. Pabrik Cikarang
Unilever memperoleh peringkat Hijau (kedua tertinggi), serta penghargaan Industri
Hijau dari Kementerian Perindustrian, dengan skor 4 dari nilai tertinggi 5.
Serangkaian prestasi ini menunjukkan
bahwa Unilever Indonesia bukan saja telah melampaui ketentuan persyaratan
manajemen lingkungan, namun juga berkomitmen untuk menjalankan upaya
penyempurnaan terus menerus untuk memastikan bahwa seluruh proses produksi
Unilever berlangsung secara efisien dan ramah lingkungan. Target Unilever
secara global berkaitan dengan penggunaan energi yang efisien, sebagaimana
dirumuskan dalam program kegiatan berkelanjutan dari Unilever (Unilever Sustainable Living Plan) adalah
mengurangi separuh dari dampak gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh
produk-produk Unilever di seluruh siklus kehidupannya pada 2020. Target ini,
sejalan dengan kebijakan pabrik Unilever, untuk menghemat pemakaian bahan-bahan
mentah, energi dan air, telah diwujudkan dalam serangkaian indikator kinerja
utama (KPI: Key Performance Indicators)
bagi masing-masing pabrik, dan kemajuannya
dilaporkan secara teratur melalui sistem online Unilever.
Penyempurnaan secara terus menerus
pada parameter KPI ini di seluruh
lini operasi Unilever telah
membuahkan pengurangan pemakaian
energi secara konsisten. Unilever
telah memetakan keseluruhan emisi Unilever
dan melakukan pemantauan secara teratur serta menggunakan hasilnya sebagai bahan untuk penyusunan strategi pengurangan selanjutnya.
Sebagai wujud dari komitmen Unilever
untuk menggunakan bahan bakar yang lebih
ramah lingkungan, Unilever telah beralih
menggunakan gas alam sebagai bahan
bakar utama bagi boiler-boiler Unilever.
Jumlah emisi total telah berkurang 2,75% pada 2013 dibanding 2012.
Air
merupakan bahan mentah utama sekaligus bahan tambahan dalam proses produksi
Unilever dan harus dikelola serta dipantau sebagai bagian integral dari pengelolaan pabrik. Sepanjang tahun,
Unilever meningkatkan sejumlah upaya
berkaitan dengan penggunaan air, seperti
daur-ulang air melalui pusat pengolahan air
limbah (Waste Water Treatment Plant/WWTP), tadah air hujan, dan sebagainya. Berikut ini adalah produk
dari Unilever.
Gambar 1.1 Produk
Unilever
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Untuk menjalankan usahanya Unilever mempunyai visi dan misi
yang digunakan untuk kemajuan usahanya, berikut visi dan misi dari Unilever
Visi : Untuk
meraih rasa cinta dan penghargaan dari Indonesia dengan menyentuh kehidupan
setiap orang Indonesia setiap harinya.
Misi dari Unilever adalah
:
1)
Unilever bekerja untuk menciptakan masa
depan yang lebih baik setiap hari.
2)
Unilever membantu konsumen merasa
nyaman, berpenampilan baik dan lebih menikmati hidup melalui brand dan layanan
yang baik bagi mereka dan orang lain.
3)
Unilever menginspirasi masyarakat untuk
melakukan langkah kecil setiap harinya yang bila digabungkan bisa mewujudkan
perubahan besar bagi dunia.
4)
Unilever senantiasa mengembangkan cara
baru dalam berbisnis yang memungkinkan kami tumbuh dua kali lipat sambil
mengurangi dampak terhadap lingkungan.
2.2
Undang-Undang
Tentang Tanggungjawab Perusahaan Terhadap Kerusakan Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
berkaitan erat dengan pendayagunaan sumber daya alam sebagai suatu asset
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
diperkenalkan suatu rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup. Disebutkan dalam ketentuan berwawasan lingkungan hidup adalah
upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya
ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu
hidup generasi masa kini dan masa depan. Selanjutnya dalam UU ini dibedakan
antara “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan
“pembangunan berwawasan lingkungan hidup” sebagai suatu sistem pembangunan. Hal
ini dapat dilihat dalam rumusan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
menyatakan: “pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung
jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seluruhnya. Mengenai “asas berkelanjutan”
penjelasan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyatakan “asas berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul
kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap
sesamanya dalam satu generasi, untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab
tersebut. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yakni
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 pengaturan tentang pengelolaan sumber daya alam
dimaksud diatur dalam Bab IV tentang wewenang pengelolaan lingkungan hidup.
Secara umum dalam Pasal 1 angka (10) disebutkan bahwa sumber daya adalah unsur
lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam baik
hayati maupun non hayati dan sumber daya buatan. Pasal 8 Undang-Undang ini
menentukan sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh
pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pemerintah telah
melaksanakan berbagai upaya pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup.
Penentuan
kejahatan lingkungan hidup harus dimulai dari penempatan kejahatan lingkungan
hidup di dalam undang-undang, yang lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi.
Sudarto menyatakan bahwa mengenai masalah kriminalisasi harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat adil makmur secara merata baik materil dan seprituil berdasarkan
Pancasila, sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan terhadap tindakan penanggulangan itu
sendiri, demi keselamatan dan pengayoman masyarakat.
b.
Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugiaan (materiil dan atau spritual) atas warga masyarakat.
c.
Penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tuga (overbelasting).
Tindak pidana lingkungan hidup dikriminalisasi melalui
perangkat hukum yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Undang-undang tersebut merupakan payung hukum (umbrella act)
dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup.
Pengaturan menyangkut lingkungan hidup sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Terkait kejahatan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
diatur oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dapat dilihat dari perumusan
Pasal 69 yang menyatakan bahwa:
1)
Setiap
orang dilarang:
·
melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
·
memasukkan
B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
·
memasukkan
limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke
media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·
memasukkan
limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·
membuang
limbah ke media lingkungan hidup.
·
membuang
B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
·
melepaskan
produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan.
·
melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar.
·
menyusun
amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal, dan/atau
·
memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.
2)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh
kearifan lokal di daerah masing-masing.
Selain ketentuan yang terdapat dalam Pasal 69 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 di atas maka menyangkut kriminalisasi kejahatan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan juga diatur dalam Pasal 98 sampai
dengan Pasal 115. Adapun ketentuan dimaksud sebagai berikut :
Pasal 98 :
(1)
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya
baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)”.
(2)
“Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00
(dua belas miliar rupiah)”.
(3)
“Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah)”.
Pasal 99 :
(1)
“Setiap
orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah)”.
(2)
”Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau
bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah)”.
(3)
“Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat
atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar
rupiah)”.
Pasal 100 :
(1)
“Setiap
orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu
gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi
administrative yang telah di jatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan
lebih dari satu kali”.
Pasal 101 :
(1)
“Setiap
orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 102:
(1)
“Setiap
orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Pasal 103 :
(1)
“Setiap
orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Pasal 104:
(1)
”Setiap
orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah)”.
Pasal 105:
(1)
”
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)”.
Pasal 106:
(1)
”
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)”.
Pasal 107:
(1)
“Setiap
orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah)”.
Pasal 108:
(1)
“Setiap
orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah)”.
Pasal 109:
(1)
”
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah)”.
Pasal 110:
(1)
”
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 111:
(1)
“Pejabat
pemberi izin lingkungan yang menerbitkan ijin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
(2)
“
Pejabat pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan ijin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud
pada pasal 40 ayat (1) di dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Pasal 112:
(1)
“
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71 dan
pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)”.
Pasal 113:
(1)
“Setiap
orang yang memberikan informasi palsu, mennyesatkan, menghilangkan informasi,
merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam pasal
69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 114:
(1)
“Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Pasal 115:
(1)
”Setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik
pegawai negri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
adalah adanya penguatan yang terdapat dalam undang-undang ini tentang
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan
pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan
dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan Beberapa point penting
dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 antara lain :
a.
Keutuhan
unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b.
Kejelasan
kewenangan antara pusat dan daerah;
c.
Penguatan
pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d.
Penguatan
instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup,
Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
e.
Pendayagunaan
pendekatan ekosistem;
f.
Kepastian
dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
g.
Penguatan
demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
h.
Penegakan
hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
i.
Penguatan
kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif
dan responsif; dan
j.
Penguatan
kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil
lingkungan hidup.
Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi
kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 mensyaratkan bahwa yang
dimaksud perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang
meliputi:
a.
Aspek
Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan
wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH.
b.
Aspek
Pemanfaatan Sumber daya Alama yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam
undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH
maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
c.
Aspek
pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
d.
Dimasukkan
pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS, tata ruang,
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, UKL-UPL, perizinan, instrumen
ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan
hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup,
audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan.
e.
Pemeliharaan
lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam,
pencadangan sumber daya alam, dan/atau pelestarian fungsi atmosfer.
f.
Aspek
pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
1)
Pengaturan
sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu,
pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau
UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak,
pengelola limbah B3 tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah
ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
2)
Pengaturan
tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri
sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
3)
Ada
pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dan perdata AMDAL Dalam UU NO. 32 TAHUN
2009. Dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL.
Pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997,
yaitu hilangnya kalimat dampak besar. Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997
disebutkan bahwa AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup , sedangkan
pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa, AMDAL adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan.
4)
Hal
baru yang penting terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009,
antara lain: Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi
penyusun dokumen AMDAL; Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota
wajib memiliki lisensi AMDAL; Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk
penerbitan izin lingkungan; Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur,
bupati.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan
pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang
dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan
/ atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian
lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus
selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai
konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus
dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan
tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat
bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum
pidana, dan pengaturan memperhatikan azas ultimum remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah
penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum
remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar