BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Persaingan harus
dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha.
Dengan persaingan,
para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk
dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik
bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli
produk dengan harga murah dan kualitas terbaik.
Seiring dengan
berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa bagaimana bersaing dengan
sehat sehingga munculah persaingan-persaingan yang tidak sehat dan pada
akhirnya timbul praktek monopoli.
Dengan adanya
praktik monopoli pada suatu bidang tertentu, berarti terbuka kesempatan untuk
mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan pribadi. Disini
monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas
produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi
kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah.
Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra
kurang baik yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli
suatu bidang.
Dengan demikian, praktik monopoli akan menguasai
pangsa pasar secara mutlak sehingga pihak-pihak lain tidak memiliki kesempatan
lagi untuk berperan serta. Apalagi kalau produk yang dimonopoli itu
merupakan kebutuhan primer, dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan
yang sebesar-besarnya. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat tidak mempunyai
alternatif lain kecuali membeli produk yang dimonopoli tersebut dan akan
terjadi pula inefisiensi dalam menghasilkan produk.
1.2
Rumusan
Masalah Penulisan
1.
Apa pengertian praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat?
2.
Apa saja yang termasuk pada praktik monopoli?
3.
Hal - hal apa saja yang tidak tergolong dalam
praktik monopoli?
1.3
Tujuan
Penulisan
1)
Mengetahui pengertian praktik monopoli dan
persaingan tidak sehat
2)
Mengetahui hal yang termasuk dalam praktik
monopoli
3)
Memahami hal yang tidak termasuk praktik
monopoli
4)
mengetahui hal-hal apa saja
yang diperbolehkan dan dilarang dalam melakukan suatu usaha.
5)
mengetahui hal-hal yang
dilarang dalam menjalankan bisnis dan akibatnya apabila aturan tersebut
dilanggar.
1.4
Manfaat
Penulisan
1.4.1
Aspek
Teoritis
Makalah ini dapat
dijadikan sebagai sarana informasi untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang
persaingan tidak sehat.
1.4.2
Aspek
Praktisi
1)
Bagi mahasiswa program studi S1 Marketing Bina Nusantara, mengetahui tentang
persaingan tidak sehat di Indonesia.
2)
Bagi Institusi, dapat menambah bahasan
diskusi untuk program pembelajaran, khususnya program S1 Marketing.
1.5
Sistematika
Penulisan
Untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, maka
disusunlah suatu sistematika penulisan yang berisi informasi mengenai materi
dan hal yang di bahas dalam tiap-tiap bab, ada pun sistematika penulisan penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a) Bab I Pendahuluan.
Pada bab ini di uraikan tentang objek penelitian, latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta sistematika penulisan.
b) Bab II Hasil dan Pembahasan.
Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan atas hasil data.
c) Bab III Penutup.
Bab ini berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan pada bab II.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan
Tidak Sehat
Pengertian Praktek Monopoli
dan Persaingan Tidak Sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang praktek monopoli
adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
Persaingan
Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Undang-Undang Anti Monopoli
No. 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Anti Monopoli). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga
menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Monopoli diindikasikan
sebagai sesuatu yang netral, bukan positif maupun negatif dikarenakan ada beberapa
hal yang mempengaruhi terjadinya monopoli, antara lain :
•
Monopoli terjadi sebagai akibat dari “superior
skill”, yang salah satunya dapat terwujud dari pemberian hak paten secara
eksklusif oleh negara.
•
Monopoli terjadi karena pemberian
negara. Di Indonesia terlihat dari
pelaksanaan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal
51 UU ini.
•
Monopoli merupakan suatu “historical
accident” dimana monopoli terjadi karena tidak sengaja dan berlangsung
karena proses alamiah yang ditentukan oleh berbagai faktor terkait dimana
monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini
penilaian mengenai pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli
sangat relevan.
2.2
Azas
dan Tujuan
Dalam melakukan kegiatan
usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam
menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan yang terkandung di
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
1. Menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat,
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha.
4. Terciptanya
efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
2.3
Kegiatan
yang Dilarang
Bagian
Pertama Monopoli Pasal 17 adalah :
1.
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan
atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a.
Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum
ada substitusinya;
b.
Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat
masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c.
Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Bagian
Kedua Monopsoni Pasal 18 adalah :
1.
Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan
pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
2.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang
atau jasa tertentu.
Bagian
Ketiga Penguasaan Pasar Pasal 19 adalah :
1.
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau
beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
berupa:
a.
Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b.
Mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian
Keempat Persekongkolan Pasal 22 adalah :
1.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal
23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia
perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal
24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan.
2.4
Perjanjian yang Dilarang
1.
Oligopoli
Oligopoli
adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah
sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar.
2.
Penetapan Harga
Dalam
rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara
lain :
a.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b.
Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c.
Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d.
Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian
Wilayah
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan
untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau
jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku
usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk
tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud
untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu
barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan
kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap
perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi
dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan
dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi
Vertikal
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi
barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung
maupun tidak langsung.
9. Perjanjian
Tertutup
Pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak
memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau
pada tempat tertentu.
10. Perjanjian
dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2.5
Posisi
Dominan
Dalam
perspektif ekonomi, posisi dominan adalah posisi yang ditempati oleh perusahaan
yang memiliki pangsa pasar terbesar. Dengan pangsa pasar yang besar tersebut
perusahaan memiliki market power. Dengan market power tersebut, perusahaan
dominan dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh
perusahaan pesaingnya. Dalam UU No.5/1999, posisi dominan didefinisikan sebagai
suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau
suatu pelaku usaha mempunyai posisi lebih tinggi daripada pesaingnya pada pasar
yang bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan, akses pada
pasokan atau penjualan serta kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan
barang atau jasa tertentu.
Posisi
dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha. Mengapa? Karena
hampir pada setiap kasus hukum persaingan usaha, menjadi perhatian pertama
lembaga persaingan usaha, dalam hal ini di Indonesia, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah terhadap posisi dominan suatu perusahaan pada
pasar yang bersangkutan. Siapa yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang
bersangkutan? Atau kalau suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah terlapor
mempunyai posisi dominan? Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan
ya, bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya,
maka yang akan dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah pelaku usaha
tersebut benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi dominannya dan bagaimana
pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya. Kalau pelaku usaha
(terlapor) tidak mempunyai posisi dominan, bagaimana terlapor dapat melakukan
persaingan usaha tidak sehat di pasar yang bersangkutan? Dan hal yang perlu
dicari tahu dan dibuktikan adalah apakah pasar yang bersangkutan terdistorsi
atau tidak. Bentuk pasar terdistorsi misalnya pelaku usaha lain tidak dapat
masuk ke pasar yang bersangkutan, karena adanya hambatan-hambatan pasar (entry
barrier) atau apakah terlapor mempunyai hubungan terafiliasi dengan pelaku
usaha lain sehingga dapat melakukan hambatan-hambatan persaingan usaha?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dielabolarasi dalam bab ini, ditinjau
dari aspek UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (UU No. 5/1999) sehingga mempermudah pemahaman tentang apa yang
dimaksud dengan posisi dominan dan penyalahgunaannya.
Dari ketentuan
Pasal 25 ayat 1 pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat
menyalahgunakan posisi domiannya baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk:
a.
Mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing,
baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat-syarat
perdagangan
Syarat
utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat
perdagangan yang dapat mencegah konsumen memperoleh barang yang bersaing baik
dari segi harga maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsumen
telah mempunyai hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan. Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan dapat mengontrol konsumen atau pembeli untuk tidak membeli barang dari
pesaingnya? Biasanya konsumen tersebut ada ketergantungan terhadap pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku usaha yang dapat mencegah
konsumen untuk tidak memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan adalah sangat kuat. Dikatakan sangat kuat, karena
pelaku usaha tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen tersebut untuk tidak
membeli barang yang bersaing dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan tersebut. Mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat
mengontrol konsumen/pembeli tersebut? Karena pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan menetapkan syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu
konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di dalam aturan
hokum persaingan usaha negara lain. Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku
usaha posisi dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli) untuk mendapatkan
barang dari
pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan tersebut (refusal to deal).
b.
Membatasi
pasar dan pengembangan teknologi
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar.
Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian
membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang
mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di pasar yang
bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa melakukan
hambatan masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang di pasar atau
membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa di pasar yang
bersangkutan dan melakukan jual rugi yang akan menyingkirkan persaingnya dari
pasar. Termasuk melakukan perjanjian tertutup dan praktek diskriminasi dapat
dikategorikan suatu tindakan membatasi pasar. Misalnya definisi diskriminasi
tidak ada ditetapkan di dalam UU No. 5/1999. Secara umum tindakan diskriminasi
dapat diartikan bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha
lain secara istimewa, dan pihak lain pelaku usaha lain tidak boleh menikmati
keistimewaan tersebut, atau ditolak. Atau pelaku usaha yang menguasai suatu
fasilitas jaringan teknologi tertentu (essential facilities doctrine) yang
seharusnya dapat dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya asalkan tidak
mengganggu sistem jaringan teknologi tersebut jika dibagikan kepada pelaku
usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha yang menikmati jaringan teknologi harus
membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi penggunaan jaringan tersebut. Penyalahgunaan
yang lain yang diatur di dalam 25 ayat 1b adalah membatasi pengembangan
teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah merupakan hak monopoli
pelaku usaha tertentu yang menemukannya menjadi hak atas kekayaan intelektual
penemunya.214 Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999
yang mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pengertian
pembatasan pengembangan teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya pelaku
usaha tertentu terhadap pengembangan teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha
pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik segi kualitas maupun
kuantitas.
c.
Menghambat
pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk Memasuki pasar
bersangkutan
Di
dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual
dan pesaing potensial. Pesaing faktual adalah pelaku usaha-pelaku usaha yang
melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan
pesaing potensial adalah pelaku usaha yang mempunyai potensi yang ingin masuk
ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku
usaha dari luar negeri. Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial yang
dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar oleh karena
kebijakan-kebijakan Negara atau pemerintah. Hambatan masuk pasar oleh pelaku
usaha posisi dominan swasta adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses
produki dari hulu ke hilir hingga pendistribusian – sehingga perusahaan
tersebut demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan pelaku usaha
potensial tidak mampu masu ke pasar yang bersangkautan.
Sedangkan
hambatan masuk pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada dua, yaitu
hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis. Hambatan masuk pasar secara
struktur adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi.
Sedangkan
hambatan masuk pasar secara strategis adalah kebijakan-kebijakan yang
memberikan perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu,
akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam
hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah bahwa pesaing
potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan. Selain pelaku usaha
yang dominan dapat melakukan penyalahgunaan posisi dominannya sebagaimana
ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1 tersebut, pelaku usaha tersebut dapat juga
melakukan perilaku yang diskriminatif, baik diskriminasi harga dan non harga
dan jual rugi (predatory pricing).
Hubungan
Afiliasi Dengan Pelaku Usaha yang Lain
a.
Jabatan rangkap
Pasal 26
melarang komisaris dan direksi suatu perusahaan merangkap jabatan di perusahaan
yang lain apabila perusahaan - perusahaan tersebut; a) berada dalam pasar
bersangkutan yang sama; atau b) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan
atau jenis usaha; atau c) secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang
dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat. Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut
tidak melarang mutlak jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila
akibat jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat (rule of reason).
Pertanyaannya
adalah apakah jabatan rangkap tersebut dapat diawasi di depan (pencegahan) atau
kemudian (repressif)? Penilaian terhadap jabatan rangkap biasanya dilakukan
pada proses merger atau akuisisi saham perusahaan. Jika perusahaan melakukan
pengambilalihan saham perusahaan yang lain, dan akibat pengambilalihan saham
tersebut ditempatkan Komisaris atau Direksi, maka penempatan tersebut dapat
dinilai, apakah nanti dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar
yang bersangkutan atau tidak, maka dinilai kembali melalui besarnya saham yang
dimiliki dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambilalih
dan pangsa pasar yang diambilalih (secara horizontal). Artinya, pelaku usaha
yang mengambilalih dan yang diambilalih berada pada pasar bersangkutan yang
sama. Selain itu jabatan rangkap juga dapat terjadi di dua perusahaan yang
tidak bergerak dibidang usaha yang sama, melainkan adanya keterkaitan usaha
dalam proses produksi barang terebut dari pasar hulu sampai ke pasar hilir. Ini
disebut perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan
atau jenis usaha.
b.
Kepemilikan
saham silang
Ketentuan Pasal
27 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas. Pada
beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang
sama pada pasar yang bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa
perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang
apabila mengakibatkan: a.) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; b.)
Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 27 tersebut pelaku usaha yang menguasai saham mayoritas
dibeberapa pelaku usaha dan mengakibatkan penguasaan pangsa pasar lebih dari
50% untuk monopolis dan lebih dari 75% untuk oligopolis dapat mengakibatkan
posisi dominan. Kempemilikan saham mayoritas yang dimiliki oleh satu pelaku
usaha di beberapa perusahaan harus dibuktikan terlebih dahulu, kemudian dengan
pembuktian penguasaan pangsa pasar di pasar yang bersangkutan. Setelah pelaku
usaha menguasai saham mayoritas, baru dibuktikan apakah menguasai pangsa pasar
lebih dari 50% atau lebih dari 75%, yaitu apa yang disebut dengan posisi
dominan. Jika pelaku usaha sudah terbukti mempunyai posisi dominan, maka
langkah berikutnya adalah membuktikan apakah posisi dominan tersebut
disalahgunakan yang mengakibatkan pasar menjadi terganggu.
c.
Merger,
akuisisi & konsolidasi
Secara
sederhana, merger, akuisisi dan konsolidasi, atau yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dan dipakai dalam peraturan perundang-undangan dengan istilah
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.
·
Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir 9
“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau
lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang
mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih
karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status
badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum”.
·
Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir
10 ”Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau
lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang
karena hokum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri
dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum”.
·
Ketentuan UU No. 40/2007 Pasal 1 butir
11 ”Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau
orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan
beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut”.
2.6 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk
memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. KPPU merupakan lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan pemerintah serta pihak lainnya.
KPPU bertanggung jawab kepada Presiden. Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah
terjadi pelanggaran UU ini dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU dengan
menyertakan identitas pelapor. Keberatan
terhadap putusan KPPU diajukan ke PN paling lambat 14 hari setelah
pemberitahuan putusan. Jika masih keberatan dapat mengajukan kasasi ke MA dalam
waktu 14 hari setelah putusan dibacakan.
KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
1. Perjanjian yang dilarang, yaitu
melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan
harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang
dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
- Kegiatan
yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui
pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
- Posisi
dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya
untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat
bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per
se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan
pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi
perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan
KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
- Konsumen tidak lagi menjadi
korban posisi produsen sebagai price taker
- Keragaman produk dan harga
dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
- Efisiensi alokasi sumber daya
alam
- Konsumen tidak lagi diperdaya
dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada
pasar monopoli
- Kebutuhan konsumen dapat
dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
- Menjadikan harga barang dan
jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
- Membuka pasar sehingga
kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
- Menciptakan inovasi dalam
perusahaan
2.7
Sanksi dalam Anti Monopoli dan Persaingan
Tidak Sehat
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur
mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara
pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
·
Pasal 48
1)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal
9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27,
dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua
puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus
miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam)
bulan.
2)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai
dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
3)
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
·
Pasal 49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a)
Pencabutan izin usaha; atau
b)
Larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c)
Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu
yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Persaingan
Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti
kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ).
Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan
kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli.
DAFTAR PUSTAKA
Website
:
niamulya201412011.weblog.esaunggul.ac.id/.../Monopoli-dan-Pasar-Persaingan-Tidaksempurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar