
DAFTAR ISI
HALAMN
JUDUL………………………………………………………………...i
DAFTAR
ISI……………………………...………………………………...……..1
DAFTAR
GAMBAR……………………..………………………………...……..1
ABSTRAK………………………………………………………………………...2
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………16
DAFTAR
GAMBAR
Gambar 1.1 Indeks
Kepercayaan Konsumen Belanja Melalui Online…………...5
ABSTRAK
Riset Sharing Vision terhadap 151
responden media sosial yang di publikasikan melalui website www. nationalgeographic.co.id (diakses Juni 2016)
menunjukkan, kasus bertemu akun palsu sebanyak 22 persen, kata kunci diketahui
orang lain 13,6 persen, dan pencurian akun sebanyak 9,9 persen. Hal ini
tergolong berbahaya.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah
(law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial
yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang
buruk.
Kepastian hukum bisnis secara online sama dengan bisnis konvensional,
yang membedakan keduanya hanya sarana perbuatannya, yakni menggunakan sistem
elektronik seperti komputer, internet dan perangkat telekomunikasi lainnya.
Secara hukum penipuan di internet atau penipuan secara online dapat
diperlakukan sama dengan delik konvensional. Undang-undang di Indonesia saat
ini yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam hal Bisnis dalam online shop ini
adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Salah satu cara manusia untuk mendapatkan yang
dibutuhkan adalah dengan melakukan jual beli. Sistem ini sudah ada dari jaman
nenek moyak kita dahulu. Namun dahulu belum ada alat tukar yang dijadikan acuan
dalam sistem jual beli. Oleh karena itu dahulu orang-orang melakukan sistem
barter untuk mendapatkan yang diinginkan. Sistem barter ini adalah sebuah
system dimana seseorang bertukar barang yang dimilikanya dengan orang lain.
Karena banyaknya kekurangan dari sistem barter ini, maka orang-orang mulai
melakukan pencarian baru terhadap sistem jual beli, hingga di temukannya uang,
uang di gunakan untuk melakukan transaksi, karena nilainya yang jelas dan dapat
diukur. Awalnya sistem jual beli dilakukan secara offline, maksudnya, pembeli dan penjual bertemu langsung di suatu
tempat dan melakukan transaksi dinamakan sebagai pasar. Seiring perkembangan
zaman yang berkembang pesat dan banyak di temukan teknologi-teknologi baru,
jual beli tidak lagi hanya bisa dilakukan secara offline saja namun sudah bisa dilalukan secara online.
Berdasarkan data dari www.kominfo.go.id
(diakses Juni 2016) data dari lembaga riset pasar e-Marketer,
populasi netter di Indonesia mencapai 83,7 juta orang pada
2014. Berdasarkan data tersebut, banyak perusahaan memanfaatkan media internet
untuk menjalankan bisnisnya, antara lain dengan menggunakan media internet,
perusahaan dapat melakukan pencarian informasi perusahaan dan melakukan
promosi. Media internet selain digunakan untuk media informasi dan media
promosi, internet juga digunakan sebagai proses pembelian dan penjualan produk,
jasa, dan informasi secara online yang disebut e-commerce.
Perkembangan e-commerce membawa banyak
perubahan terhadap sektor aktivitas bisnis yang selama ini dijalankan di dunia
nyata. Perubahan tersebut ditandai adanya sejumlah upaya dari sektor aktivitas
bisnis yang semulanya di dunia nyata (real) dan sekarang bisa berkembang
di dunia maya (virtual).
Salah satu fenomena e-commerce yang mulai
berkembang pesat di Indonesia adalah situs jual beli online. Situs jual
beli di Indonesia sebenarnya sudah lama bermunculan,
namun belakangan ini situs jual beli semakin marak. Banyak orang
yang
tertarik untuk melakukan jual beli secara online di situs jual beli online.
Melalui
situs jual beli ini, pengusaha dapat menjangkau target market yang jauh
lebih
luas dengan biaya yang lebih murah. Banyak pengusaha yang memasarkan
barang
dagangan maupun jasa secara online. Para pengusaha tersebut dapat
memanfaatkan
fasilitas situs-situs forum dan jejaring sosial untuk memasarkan
barang
maupun jasanya secara online.
Berdasarkan
laopran Global Trends in online shopping yang di publikasikan oleh www.kompas.com (diakses Juni 2016) tahun 2013 yang
dilakukan oleh Nielsen, para
konsumen di Indonesia menghabiskan >9% dari seluruh penghasilan per bulannya untuk berbelanja secara online.
Persentase itu lebih banyak
daripada beberapa tahun yang lalu. Selama penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, kepercayaan konsumen online
di Indonesia jumlahnya menurun sebanyak
<2%, setara dengan konsumen online di Kolombia dan Chile. Jumlah itu relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu Korea Selatan terjadi penurunan sebanyak 6%, Kanada dan Amerika Serikat
3%, dan 1 persen di Perancis

Gambar 1.1
Indeks Kepercayaan
Konsumen Belanja Melalui Online
Sumber: Nielsen Global Consumer Report,
2012
Transaksi online memberikan banyak kemudahan,
akan tetapi yang masih diperhitungkan oleh konsumen yaitu tingkat kepercayaan
yang mereka tunjukkan pada situs jual beli. Banyak konsumen yang masih ragu
terhadap sistem keamanan, kontrol tentang informasi pribadi, integritas,
kualitas barang, metode pembayaran, dan kemampuan situs jual beli dalam
mengelola jual beli online. Adanya beberapa resiko pada belanja online
tersebut dapat mengurangi kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online.
Berbelanja secara online tentu berbeda dengan perdagangan konvensional
di mana penjual dan pembeli bertemu secara langsung atau bertatap muka dalam
melakukan transaksi. Oleh
karena
itu, konsumen akan lebih senang dan cenderung melakukan pembelian melalui situs
jual beli yang dapat dipercaya.
Riset Sharing Vision terhadap 151 responden media
sosial yang di publikasikan melalui website
www.nationalgeographic.co.id
(diakses Juni 2016) menunjukkan, kasus bertemu akun palsu sebanyak 22 persen,
kata kunci diketahui orang lain 13,6 persen, dan pencurian akun sebanyak 9,9
persen. Hal ini tergolong berbahaya, bahkan beberapa kasus di antaranya
berujung pada kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur, kejahatan seksual,
dan kasus penculikan.
Untuk itu harus ada
kepastian hukum yang mengatur tentang jual beli online untuk mengurangi dampak kejahatan jual beli online. Jaminan akan kepastian hukum
bagi konsumen dalam melakukan transaksi e-commerce diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan konsumen. Apabila hal tersebut terabaikan maka dapat
dipastikan akan terjadi pergeseran efektifitas transaksi e-commerce dari
falsafah efisiensi menuju ke arah ketidak pastian yang akan menghambat upaya
pengembangan pranata ecommerce.
1.2
Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana kepastian hukum bisnis online?
1.3
Tujuan
1)
Untuk mengetahui kepastian hukum bisnis online?
1.4
Manfaat
1.4.1
Aspek
Teoritis
Penelitian ini dapat
dijadikan sebagai sarana informasi untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan
tentang sejauh mana hukum melindungi bisnis online
di Indonesia.
1.4.2
Aspek
Praktisi
1)
Bagi mahasiswa program studi S1 Marketing Bina Nusantara, mengetahui
perkembangan bisnis online dan aturan
hukum yang menjamin bisnis online.
2)
Bagi Institusi, dapat menambah bahasan
diskusi untuk program pembelajaran, khususnya program S1 Marketing.
1.5
Sistematika
Penulisan
Untuk
memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, maka
disusunlah suatu sistematika penulisan yang berisi informasi mengenai materi
dan hal yang di bahas dalam tiap-tiap bab, ada pun sistematika penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Bab I Pendahuluan.
Pada bab ini di uraikan tentang objek penelitian, latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta sistematika penulisan.
b) Bab II Hasil dan Pembahasan.
Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan atas hasil data.
c) Bab III Penutup.
Bab ini berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan pada bab II
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Kepastian
Hukum Bisnis Online
Hukum
adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control),
sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang
berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah
aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku
tertentu.
a)
Hukum Sebagai Suatu Sistem
Hukum
akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan
apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain
pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai
norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan
undang-undang.
`Dalam
praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap
orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan
maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan
kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum,
termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan
hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat
kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian
karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu
harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung
penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak
patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di
mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya,
kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang
berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Penegakan
hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility)
bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya
penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat
kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu
adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum
tentu berguna bagi masyarakat.
b)
Penegakan Hukum
Masyarakat
hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan
yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil
atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera
membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang
paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis,
sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya
lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat.
Melalui
pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus
dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan
dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik.
Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi
politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana
rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat
pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan
dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa
cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan
perasaan keadilan hukum masyarakat.
Substansi undang-undang
sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus
dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah
asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang.
Jika
kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan
menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak
terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena
sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan
kepastian hukum.
c)
Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam
Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur
perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu larangan dalam memproduksi
atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan atau mempromosikan atau
mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral atau lelang dan larangan
dalam periklanan.
d)
Larangan dalam memproduksi dan memperdagangkan
1. Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang :
a.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut;
c.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan
dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi,
proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan
dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
f.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam
label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa
tersebut,
g.
Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
Jangka waktu penggunaan atau pemanfaatannya
yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan.;
h.
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang atau dibuat;
j.
Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
2
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud (barang-barang yang tidak membahayakan
konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku).
3
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
e)
Tanggung jawab pelaku usaha
Setiap
pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dihasilkan atau
diperdagangkan pada konsumen. Ketika terjadi gugatan terhadap produk yang
dihasilkan berarti bahwa produk tersebut cacat, yang bisa diakibatkan karena
kurang cermat dalam proses produksi, tidak sesuai dengan apa yang dijaminkan
atau diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan pelaku usaha. Dengan kata
lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam Pasal 19
sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 diatur tentang tanggung
jawab yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha ketika terjadi gugatan oleh
konsumen akibat produk yang cacat, yaitu :
1) Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian
barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Walaupun begitu, pemberian
ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Tapi ketika pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
maka pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi.
2) Pelaku
usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
3) Pelaku
usaha yang bertindak sebagai importir memiliki tanggung jawab, yaitu :
a)
importir barang bertanggung jawab sebagai
pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan
oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri;
b)
importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia
jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan penyedia jasa asing.
4) Pelaku
usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a)
pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa
melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b)
pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli
tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh
pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Pelaku
usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan
konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan atau jasa menjual
kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan atau jasa
tersebut.
5) Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas
waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan. Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a)
tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b)
tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang diperjanjikan.
6) Pelaku
usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Dalam
Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab
atas kerugian yang diderita konsumen apabila :
a)
barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b)
cacat barang timbul pada kemudian hari;
c)
cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan
mengenai kualifikasi barang;
d)
kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e)
lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau
lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
f)
Sanksi
Setiap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang sudah diatur dalam
perundang-undangan akan menerima sanksi. Sanksi ini dapat berupa sanksi administratif
dan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 60 sampa Pasal 63 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999, yaitu :
1)
Sanksi Administratif
a)
Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
b)
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi
paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
c)
Tata cara penetapan sanksi administratif diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
2)
Sanksi Pidana
a)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal
15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
b)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14,
Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
c)
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka
berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.
d)
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
·
perampasan barang tertentu;
·
pengumuman keputusan hakim;
·
pembayaran ganti rugi;
·
perintah penghentian kegiatan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
·
kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
·
pencabutan izin usaha.
BAB III
KESIMPULAN
Kepastian
hukum bisnis secara online sama
dengan bisnis konvensional, yang membedakan keduanya hanya sarana perbuatannya,
yakni menggunakan sistem elektronik seperti komputer, internet dan perangkat
telekomunikasi lainnya. Secara hukum penipuan di internet atau penipuan secara
online dapat diperlakukan sama dengan delik konvensional. Undang-undang di
Indonesia saat ini yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam hal Bisnis dalam
online shop ini adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) karena bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi, meskipun di dalamnya tidak secara khusus mengatur
mengenai transaksi online.
DAFTAR PUSTAKA
Website
:
Nielsen Global
Consumer Report 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar