Jumat, 09 September 2016

kepastian hukum bisnis online


DAFTAR ISI
HALAMN JUDUL………………………………………………………………...i
DAFTAR ISI……………………………...………………………………...……..1
DAFTAR GAMBAR……………………..………………………………...……..1
ABSTRAK………………………………………………………………………...2
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………16

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Indeks Kepercayaan Konsumen Belanja Melalui Online…………...5






ABSTRAK
Riset Sharing Vision terhadap 151 responden media sosial yang di publikasikan melalui website www. nationalgeographic.co.id (diakses Juni 2016) menunjukkan, kasus bertemu akun palsu sebanyak 22 persen, kata kunci diketahui orang lain 13,6 persen, dan pencurian akun sebanyak 9,9 persen. Hal ini tergolong berbahaya.
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk.
Kepastian hukum bisnis secara online sama dengan bisnis konvensional, yang membedakan keduanya hanya sarana perbuatannya, yakni menggunakan sistem elektronik seperti komputer, internet dan perangkat telekomunikasi lainnya. Secara hukum penipuan di internet atau penipuan secara online dapat diperlakukan sama dengan delik konvensional. Undang-undang di Indonesia saat ini yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam hal Bisnis dalam online shop ini adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).




BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang
Salah satu cara manusia untuk mendapatkan yang dibutuhkan adalah dengan melakukan jual beli. Sistem ini sudah ada dari jaman nenek moyak kita dahulu. Namun dahulu belum ada alat tukar yang dijadikan acuan dalam sistem jual beli. Oleh karena itu dahulu orang-orang melakukan sistem barter untuk mendapatkan yang diinginkan. Sistem barter ini adalah sebuah system dimana seseorang bertukar barang yang dimilikanya dengan orang lain. Karena banyaknya kekurangan dari sistem barter ini, maka orang-orang mulai melakukan pencarian baru terhadap sistem jual beli, hingga di temukannya uang, uang di gunakan untuk melakukan transaksi, karena nilainya yang jelas dan dapat diukur. Awalnya sistem jual beli dilakukan secara offline, maksudnya, pembeli dan penjual bertemu langsung di suatu tempat dan melakukan transaksi dinamakan sebagai pasar. Seiring perkembangan zaman yang berkembang pesat dan banyak di temukan teknologi-teknologi baru, jual beli tidak lagi hanya bisa dilakukan secara offline saja namun sudah bisa dilalukan secara online.
Berdasarkan data dari www.kominfo.go.id (diakses Juni 2016) data dari lembaga riset pasar e-Marketer,  populasi netter di Indonesia mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Berdasarkan data tersebut, banyak perusahaan memanfaatkan media internet untuk menjalankan bisnisnya, antara lain dengan menggunakan media internet, perusahaan dapat melakukan pencarian informasi perusahaan dan melakukan promosi. Media internet selain digunakan untuk media informasi dan media promosi, internet juga digunakan sebagai proses pembelian dan penjualan produk, jasa, dan informasi secara online yang disebut e-commerce.
Perkembangan e-commerce membawa banyak perubahan terhadap sektor aktivitas bisnis yang selama ini dijalankan di dunia nyata. Perubahan tersebut ditandai adanya sejumlah upaya dari sektor aktivitas bisnis yang semulanya di dunia nyata (real) dan sekarang bisa berkembang di dunia maya (virtual).
Salah satu fenomena e-commerce yang mulai berkembang pesat di Indonesia adalah situs jual beli online. Situs jual beli di Indonesia sebenarnya sudah lama bermunculan, namun belakangan ini situs jual beli semakin marak. Banyak orang yang tertarik untuk melakukan jual beli secara online di situs jual beli online. Melalui situs jual beli ini, pengusaha dapat menjangkau target market yang jauh lebih luas dengan biaya yang lebih murah. Banyak pengusaha yang memasarkan barang dagangan maupun jasa secara online. Para pengusaha tersebut dapat memanfaatkan fasilitas situs-situs forum dan jejaring sosial untuk memasarkan barang maupun jasanya secara online.
Berdasarkan laopran Global Trends in online shopping yang di publikasikan oleh www.kompas.com (diakses Juni 2016) tahun 2013 yang dilakukan oleh Nielsen, para konsumen di Indonesia menghabiskan >9% dari seluruh penghasilan per bulannya untuk berbelanja secara online. Persentase itu lebih banyak daripada beberapa tahun yang lalu. Selama penelitian yang dilakukan oleh Nielsen, kepercayaan konsumen online di Indonesia jumlahnya menurun sebanyak <2%, setara dengan konsumen online di Kolombia dan Chile. Jumlah itu relatif lebih sedikit dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu Korea Selatan terjadi penurunan sebanyak 6%, Kanada dan Amerika Serikat 3%, dan 1 persen di Perancis
Gambar 1.1
Indeks Kepercayaan Konsumen Belanja Melalui Online
Sumber: Nielsen Global Consumer Report, 2012
Transaksi online memberikan banyak kemudahan, akan tetapi yang masih diperhitungkan oleh konsumen yaitu tingkat kepercayaan yang mereka tunjukkan pada situs jual beli. Banyak konsumen yang masih ragu terhadap sistem keamanan, kontrol tentang informasi pribadi, integritas, kualitas barang, metode pembayaran, dan kemampuan situs jual beli dalam mengelola jual beli online. Adanya beberapa resiko pada belanja online tersebut dapat mengurangi kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online. Berbelanja secara online tentu berbeda dengan perdagangan konvensional di mana penjual dan pembeli bertemu secara langsung atau bertatap muka dalam melakukan transaksi. Oleh
karena itu, konsumen akan lebih senang dan cenderung melakukan pembelian melalui situs jual beli yang dapat dipercaya.
Riset Sharing Vision terhadap 151 responden media sosial yang di publikasikan melalui website www.nationalgeographic.co.id (diakses Juni 2016) menunjukkan, kasus bertemu akun palsu sebanyak 22 persen, kata kunci diketahui orang lain 13,6 persen, dan pencurian akun sebanyak 9,9 persen. Hal ini tergolong berbahaya, bahkan beberapa kasus di antaranya berujung pada kekerasan yang dilakukan anak di bawah umur, kejahatan seksual, dan kasus penculikan.
Untuk itu harus ada kepastian hukum yang mengatur tentang jual beli online untuk mengurangi dampak kejahatan jual beli online. Jaminan akan kepastian hukum bagi konsumen dalam melakukan transaksi e-commerce diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen. Apabila hal tersebut terabaikan maka dapat dipastikan akan terjadi pergeseran efektifitas transaksi e-commerce dari falsafah efisiensi menuju ke arah ketidak pastian yang akan menghambat upaya pengembangan pranata ecommerce.
1.2              Rumusan Masalah
1)                  Bagaimana kepastian hukum bisnis online?

1.3              Tujuan
1)                  Untuk mengetahui kepastian hukum bisnis online?

1.4              Manfaat
1.4.1        Aspek Teoritis
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai sarana informasi untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang sejauh mana hukum melindungi bisnis online di Indonesia.
1.4.2        Aspek Praktisi
1)                  Bagi mahasiswa program studi S1 Marketing Bina Nusantara, mengetahui perkembangan bisnis online dan aturan hukum yang menjamin bisnis online.
2)                  Bagi Institusi, dapat menambah bahasan diskusi untuk program pembelajaran, khususnya program S1 Marketing.

1.5              Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai penelitian yang dilakukan, maka disusunlah suatu sistematika penulisan yang berisi informasi mengenai materi dan hal yang di bahas dalam tiap-tiap bab, ada pun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a)      Bab I Pendahuluan. Pada bab ini di uraikan tentang objek penelitian, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, serta sistematika penulisan.
b)      Bab II Hasil dan Pembahasan. Pada bab ini diuraikan mengenai pembahasan atas hasil data.
c)      Bab III Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan terhadap pembahasan pada bab II





BAB II
PEMBAHASAN
2.1              Kepastian Hukum Bisnis Online
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control), sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah aturan dan proses yang menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu.
a)                  Hukum Sebagai Suatu Sistem
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-undang.
`Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya. Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum.
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil, begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi masyarakat.
b)                 Penegakan Hukum
Masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat tambal sulam yang daya lakunya tidak bertahan lama. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.
Melalui pendekatan sistem prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang bertalian erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, demopolitik, sosiopolitik dan kratopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum diharapkan mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Kepicikan pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku tanpa cakrawala wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dalam menerjemahkan perasaan keadilan hukum masyarakat.
Substansi undang-undang sebaiknya disusun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstraksikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang.
Jika kita hanya berpegang pada nilai keadilan saja, maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai kepastian dan kegunaan, karena nilai keadilan tersebut tidak terikat kepada kepastian hukum ataupun nilai kegunaan, disebabkan oleh karena sesuatu yang dirasakan adil belum tentu sesuai dengan nilai kegunaan dan kepastian hukum.
c)                  Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu larangan dalam memproduksi atau memperdagangkan, larangan dalam menawarkan atau mempromosikan atau mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral atau lelang dan larangan dalam periklanan.
d)                 Larangan dalam memproduksi dan memperdagangkan
1.      Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang :
a.       Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.      Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.       Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.      Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.       Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut;
f.       Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut,
g.      Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. Jangka waktu  penggunaan atau pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan.;
h.      Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i.        Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat atau isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat;
j.        Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2        Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (barang-barang yang tidak membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku).
3        Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
e)                  Tanggung jawab pelaku usaha
Setiap pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dihasilkan atau diperdagangkan pada konsumen. Ketika terjadi gugatan terhadap produk yang dihasilkan berarti bahwa produk tersebut cacat, yang bisa diakibatkan karena kurang cermat dalam proses produksi, tidak sesuai dengan apa yang dijaminkan atau diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 diatur tentang tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha ketika terjadi gugatan oleh konsumen akibat produk yang cacat, yaitu :
1)      Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Walaupun begitu, pemberian ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Tapi ketika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen maka pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi.
2)      Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala  akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
3)      Pelaku usaha yang bertindak sebagai importir memiliki tanggung jawab, yaitu :
a)      importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri;
b)      importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
4)      Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a)      pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
b)      pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan atau jasa tersebut.
5)      Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a)      tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b)      tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
6)      Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila :
a)      barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b)     cacat barang timbul pada kemudian hari;
c)      cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d)     kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e)      lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
f)                   Sanksi
Setiap pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang sudah diatur dalam perundang-undangan akan menerima sanksi. Sanksi ini dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 60 sampa Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu :
1)                  Sanksi Administratif
a)      Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26.
b)      Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah).
c)      Tata cara penetapan sanksi administratif diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

2)                  Sanksi Pidana
a)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
b)      Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c)      Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
d)     Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
·         perampasan barang tertentu;
·         pengumuman keputusan hakim;
·         pembayaran ganti rugi;
·         perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
·         kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
·         pencabutan izin usaha.





BAB III
KESIMPULAN
Kepastian hukum bisnis secara online sama dengan bisnis konvensional, yang membedakan keduanya hanya sarana perbuatannya, yakni menggunakan sistem elektronik seperti komputer, internet dan perangkat telekomunikasi lainnya. Secara hukum penipuan di internet atau penipuan secara online dapat diperlakukan sama dengan delik konvensional. Undang-undang di Indonesia saat ini yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam hal Bisnis dalam online shop ini adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) karena bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, meskipun di dalamnya tidak secara khusus mengatur mengenai transaksi online.

















DAFTAR PUSTAKA
Website :
Nielsen Global Consumer Report 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar